[1983] Sumbang

Album Sumbang
Asmara Tak Secengeng Yang Aku Kira - Berikan Pijar Matahari
Celoteh Camar Tolol Dan Cemar - Jendela Kelas - Kereta Tiba Pukul Berapa
Puing II - Semoga Kau Tak Tuli Tuhan - Siang Pelataran SD Sebuah Kampung
Sumbang

Asmara Tak Secengeng Yang Aku Kira

Bekas tapak tapak sepatu
Yang kupakai selalu ikuti
Kemana ku berjalan

Debu dan keringat
Yang ada diatas kulit tubuh ini
Saksi bisu bahwasannya
Tak mudah dan tak segampang
Yang selama ini aku sangka tentang asmara

Cermin di segala tempat
Sahabat terdekat
Tak pernah terlambat

Menampung setiap ungkapan
Mendekap semua keluhan
Meraih suka
Menangkap tawa
Merebut duka

Satu cerita dua manusia
Terlibat dalam amuk asmara
Satu cerita yang memang ada
Tak mungkin mati jelas abadi
Selama manusia hidup dalam alam ini

Maafkan kalau ku salah duga
Ternyata asmara itu
Tak mudah tak gampang dan tak secengeng
Yang kukira yang kusangka

Berikan Pijar Matahari

Terhimpit gelak tertawa
Diselah meriah pesta
Seribu gembel ikut menari
Seribu gembel terus bernyanyi

Keras melebihi lagu tuk berdansa
Keras melebihi gelegar halilintar
Yang ganas menyambar

Kuyakin pasti terlihat
Dansa mereka begitu dekat
Kuyakin pasti terdengar
Nyanyi mereka yang hingar bingar

Seolah kita tidak mau mengerti
Seolah kita tidak mau perduli
Pura buta dan pura tuli

Mari kita hentikan
Dansa mereka
Dengan memberi pijar matahari
Dengan memberi pijar matahari

Terkurung gedung gedung tinggi
Wajah murung yang hampir mati
Biarkan mereka iri
Wajar bila mencaci maki

Napas terasa sesak bagai terkena asma
Nampak merangkak degup jantung keras berdetak
Setiap detik sepertinya hitam

Tak sanggup aku melihat
Lukamu kawan dicumbu lalat
Tak kuat aku mendengar
Jeritmu kawan melebihi dentum meriam

Celoteh Camar Tolol Dan Cemar

Api menjalar dari sebuah kapal
Jerit ketakutan
Keras melebihi gemuruh gelombang
Yang datang

Sejuta lumba lumba mengawasi cemas
Risau camar membawa kabar
Tampomas terbakar
Risau camar memberi salam
Tampomas Dua tenggelam

Asap kematian
Dan bau daging terbakar
Terus menggelepar dalam ingatan

Hatiku rasa
Bukan takdir tuhan
Karena aku yakin itu tak mungkin

Korbankan ratusan jiwa
Mereka yang belum tentu berdosa
Korbankan ratusan jiwa
Demi peringatan manusia

Korbankan ratusan jiwa
Mereka yang belum tentu berdosa
Korbankan ratusan jiwa
Demi peringatan manusia

Bukan bukan itu
Aku rasa kita pun tahu
Petaka terjadi
Karena salah kita sendiri

Datangnya pertolongan
Yang sangat diharapkan
Bagai rindukan bulan
Lamban engkau pahlawan
Celoteh sang camar

Bermacam alasan
Tak mau kami dengar
Di pelupuk mata hanya terlihat
Jilat api dan jerit penumpang kapal

Tampomas sebuah kapal bekas
Tampomas terbakar di laut lepas
Tampomas tuh penumpang terjun bebas
Tampomas beli lewat jalur culas
Tampomas hati siapa yang tak panas
Tampomas kasus ini wajib tuntas
Tampomas koran koran seperti amblas
Tampomas pahlawanmu kurang tangkas
Tampomas cukup tamat bilang naas

Kereta Tiba Pukul Berapa

Hilang sabar dihati
Dan tak terbendung lagi waktu itu
Lama memang kutunggu
Kedatanganmu sobat karibku

Datang telegram darimu
(Tiba kabar darimu)
Dua hari yang lalu (tunggu aku)
Di stasiun kereta itu pukul satu

Kupacu sepeda motorku
Jarum jam tak mau menunggu maklum rindu
Traffic light aku lewati
Lampu merah tak peduli jalan terus (asik)

Didepan (dimuka) ada polantas
Wajahnya begitu buas
Tangkap aku

Tawar menawar harga pas tancap gas

Sampai stasiun kereta pukul setengah dua
Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga
Kereta tiba pukul berapa?

Biasanya kereta terlambat
Dua jam mungkin biasa (rusak lo)

Biasanya kereta terlambat
Dua jam cerita lama

Puing II

Perang perang lagi
Semakin menjadi
Berita ini hari
Berita jerit pengungsi

Lidah anjing kerempeng
Berdecak keras beringas
Melihat tulang belulang
Serdadu boneka yang malang

Tuan tolonglah tuan
Perang dihentikan
Lihatlah ditanah yang basah
Air mata bercampur darah

Bosankah telinga tuan
Mendengar teriak dendam
Jemukah hidung tuan
Mencium amis jantung korban

Jejak kaki para pengungsi
Bercengkrama dengan derita
Jejak kaki para pengungsi
Bercerita pada penguasa
( Bercerita pada penguasa )

Tentang ternaknya yang mati
Tentang temannya yang mati
Tentang adiknya yang mati
Tentang abangnya yang mati
Tentang ayahnya yang mati
Tentang anaknya yang mati
Tentang neneknya yang mati
Tentang pacarnya yang mati
( Tentang ibunya yang mati )
Tentang istrinya yang mati

Tentang harapannya yang mati

Perang perang lagi
Mungkinkah berhenti
Bila setiap negara
Berlomba dekap senjata

Dengan nafsu yang makin menggila
Nuklir pun tercipta
( nuklir bagai dewa )
Tampaknya sang jenderal bangga
Dimimbar dia berkata

Untuk perdamaian (bohong)
Demi perdamaian (bohong)
Guna perdamaian (bohong)
Dalih perdamaian (bohong)

Mana mungkin
Bisa terwujudkan
Semua hanya alasan
Semua hanya bohong besar

Semoga Kau Tak Tuli Tuhan

Kuharap kesungguhanmu
Kaitkan jiwa bagai sulam dikarya itu
Kuharap keikhlasanmu
Sirami benih yang kutabur ditamanmu

Oh jelas
Rakit pagar semakin kuat
Tak goyah
Walau diusik unggas

Pintaku pada Tuhan mulia
Jauhkan sifat yang manja
Bentuklah segala warna jiwanya
Diantara lingkup manusia
Diarena yang bau busuknya luka

Bukakan mata pandang dunia
Beri watak baja padanya
Kalungkan tabah kala derita
Semoga kau tak tuli Tuhan
Dengarlah pinta kami sebagai orang tuanya

Kuharap kesungguhanmu
Kaitkan jiwa bagai sulam dikarya itu
Kuharap keikhlasanmu
Sirami benih yang kutabur ditamanmu

Oh jelas
Rakit pagar semakin kuat
Tak goyah
Walau diusik unggas

Siang Pelataran SD Sebuah Kampung

Sentuhan angin waktu siang
Kibarkan satu kain bendera usang

Di halaman sekolah dasar
Di tengah hikmat anak desa nyanyikan lagu bangsa
Bergemalah

Tegap engkau berdiri walau tanpa alas kaki
Lantang suara anak anak disana

Kadar cinta mereka tak terhitung besarnya
Walau tak terucap namun bisa kurasa
Bergemalah

Ya ha ha hau
Harapan tertanam
Ya ha ha hau
Tonggak bangsa ternyata tak tenggelam

Dengarlah nyanyi mereka kawan
Melengking nyaring menembus awan
Lihatlah cinta bangsa di dadanya
Peduli usang kain bendera

Sumbang

Kuatnya belenggu besi
Mengikat kedua kaki
Tajamnya ujung belati
Menghujam di ulu hati
Sanggupkah tak akan lari
Walau akhirnya pasti mati

Di kepala tanpa baja
Di tangan tanpa senjata
Ah itu soal biasa
Yang singgah didepan mata kita

Lusuhnya kain bendera dihalaman rumah kita
Bukan satu alasan untuk kita tinggalkan
Banyaknya persoalan yang datang tak kenal kasihan
Menyerang dalam gelap

Memburu kala haru dengan cara main kayu
Tinggalkan bekas biru lalu pergi tanpa ragu
Memburu kala haru dengan cara main kayu
Tinggalkan bekas biru lalu pergi tanpa ragu

Setan setan politik
Kan datang mencekik
Walau dimasa paceklik
Tetap mencekik

Apakah selamanya politik itu kejam ?
Apakah selamanya dia datang tuk menghantam ?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan
Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak hak sewajarnya

Maling teriak maling
Sembunyi balik dinding
Pengecut lari terkencing kencing

Tikam dari belakang
Lawan lengah diterjang
Lalu sibuk (kasak kusuk) mencari kambing hitam

Selusin kepala tak berdosa
Berteriak hingga serak didalam negeri yang congkak
Lalu senang dalang tertawa
Ya ha ha

Ian Antono dan Abadi Soesman menjadi musisi pendukung dalam album ini, menjadikan warna baru dalam lagu-lagu Iwan Fals. Lagu ‘Sumbang’ keras lirik protesnya. Ada lagu ‘Celoteh Camar Tolol Dan Cemar’ yang menceritakan tenggelamnya kapal penumpang Tampomas II. Ada kesalahan cetak dalam album ini yaitu lagu “Jendela Kelas I’, seharusnya judul hanya Jendela Kelas namun ketambahan angka I (satu), maksudnya angka I (satu) tersebut adalah editing pertama.

0 komentar:

Posting Komentar