Pancaran Sinar Petromaks

Ketika itu taon ’78 kala mahasiswa di Indonesia lagi kenceng-kencengnye berusaha ngedongkel kekuasaan bapake Soeharto. …

Setelah capek genjrang-genjreng nyanyi Folk Song, sekelompok anak FIS UI kampus Rawamangun yang doyan demo, disela-sela waktu istirahatnya, ketiban “sial” kudu mantengin terus musik dangdut yang diputer penjaga malem. Hingga akhirnye, ibarat kata pepatah, witing tresno jalaran suko kulino, dari yang awalnya sebel, lama-lama mereka jatuh cintrong dengannya.

Diprakarsai oleh Kasino, Dono dan Nanoe (dari WARKOP), terbentuklah kemudian sebuah kelompok musik dangdut, yang ditukangi oleh Monos pada gitar dan vocal, Rojali megang mandolin dan vocal, Andra pada maracas, Dindin pada tamborin, James pada bass, Omen pada okulele dan vocal, Aditya pada Gendang II, Eddy pada flute , serta Ade, yang pemain drum the crabs pada gendang I – konon, selain Rojali, Ade, Monos dan Omen, anggota PSP yang lain sebenernya gak bisa nyanyi maupun main musik. Guna mengakalinya, ujung-ujungnya dicocok-cocokin, disetel-setelin, dipantes-pantesin, meski lantaran itu “kepaksa” kudu ada double Drum atawa Duo Gendang.

Diawali dengan keikutsertaan mereka dalam “Lomba Dangdut antar Fakultas” dalam rangka merayakan HUT DKI Jaya, dan menjadi juara pertama, Orkes Moral Pancaran Sinar Petromak (OM PSP atau PSP) mulai menjejakkan kaki.

Gaung kelompok ini semakin moncer setelah mereka kerap tampil bersama Warkop dalam program Warung Kopi di Radio Prambors, yang pada saat itu sangat disukai kalangan remaja dan mahasiswa Jakarta. Apalagi kemudian, atas jasa Mus Mualim, setelah lalu mereka nongol di ulang tahun Dwi Windu TVRI, manggung bareng Dono, Kasino, Indro (Warkop) dan Nanu.

Setidaknya ada beberapa alasan, kenapa kelompok anak muda intelek yang pernah berguru dangdut pada anak Bongkaran Tanah Abang hingga mempengaruhi penampilan dan gaya manggungnya ini memilih orkes sebagai penyaluran hasrat seninya, padahal waktu itu trend musik tanah air bisa dikatakan diwarnai tiga aliran : dangdut, yang disukai oleh kalangan bawah; pop, yang cenderung cengeng namun digemari oleh semua kalangan; dan rock yang mendapat tempat di kalangan anak muda.

Pertama,agar merakyat

Kedua, gampang dicerna, hingga pesan lebih kena;

Dan ketiga,sebagaimana diucapkan Dindin,salah satu personel kelompok tersebut, “ditampilkannya music dangdut sebagai ciri dari OM PSP juga mempunyai motivasi lain, yakni sebagai sindiran bagi mereka yang sering mencuri dengar musik dangdut diam-diam ”

“Sebab sampai detik ini, masih saja ada orang yang munafik. Di luaran dia mencela-cela dangdut, tapi begitu masuk kamar dia malah mendengarkan lagu-lagu dangdut. Ini yang bikin kita sebel”.

Namun dangdut PSP emang bukan dangdut biasa. Biarpun mereka sering tampil biasa, dalam artian membawakan lagu dangdut apa adanya, terutama yang lagi hit saat itu, misalnya lagu “seia-sekata”, tak jarang mereka pun membawakan lagu sendiri yang liriknya cerdas, kaya makna, dan lucu, seperti pada lagu “Fatime” dan “Drakula”, atau juga yang dalam liriknya diselipkan berbagai kritik akan hal-hal yang actual masa itu. Dengerin deh lagu “Duta Merlin”, sebuah lagu ringan, yang menunjukkan kesenjangan sosial dan dimulainya era kapitalisasi spasio-stemporal di Jakarta pada lokasi-lokasi tertentu.

Disisi lain, tak jarang juga mereka nekat, melakukan “tune up” lagu hingga seolah baru, atawa lain dari yang dulu. Dengarkan saja lagu “Kidung” yang manis jika dibawakan oleh Pahama, ujug-ujug jadi “ngacir” di tangan mereka. Demikian halnya tatkala menyanyikan lagu rakyat Skotlandia, “My Bonnie”, serta “Can't Buy Me Love“ milik The Beatles, dengan irama Melayu. Sangat jelas kelihatan proses kreatif yang tinggi. Proses kreatif itu yang menjadikan karya-karya mereka sulit ditandingi oleh grup-grup serupa yang muncul pada kurun tahun belakangan.

Jangan heran, lantaran ke-“edanan”-nya, banyak yang kemudian kesengsem dengannya. Rekaman berbentuk kaset pun terjual sebanyak 50.000 buah. Jumlah segitu, menurut Dodo Wirawan, direktur DD Record, yang memproduksi rekaman tersebut, terbilang mengejutkan untuk sebuah grup baru kala itu.

Pancaran Sinar Petromaks

Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (disingkat PSP) adalah grup musik dangdut humor asal Indonesia yang popular pada paruh akhir dekade 1970-an, terutama di kalangan mahasiswa. Grup musik ini seringkali tampil bersama-sama dengan Warkop pada masa jayanya. Selain sering memainkan dan memelesetkan lagu-lagu dangdut popular tahun 1960-an dan 1970-an (misalnya Siksa Kubur atau Seia Sekata), mereka juga dikenal dari lagu-lagu yang diciptakan sendiri, seperti Fatime dan Drakula. OM PSP dapat dianggap pelopor dangdut humor, subgenre yang masih disukai hingga sekarang.

Para personil OM PSP di antaranya adalah mahasiswa Universitas Indonesia yang berkampus di Rawamangun, Jakarta. Mereka adalah Rojali, Monos, James, Dindin, Aditya, Ade, Andra dan Omen. Debut mereka pertamakali tampil di TVRI pada peringatan ulang-tahun TVRI di tahun 1978. Setelah itu, mereka tampil dalam beberapa film yang juga lumayan sukses di pasaran. Hanya saja, kekuatan mereka adalah pada aransemen musik yang khas dan celotehan lirik lagu yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat. Ketika mereka memplesetkan lagu My Bonnie dengan irama Melayu, sangat jelas kelihatan proses kreatifnya yang amat tinggi, begitu pula saat mereka menyanyikan salah-satu lagu hits kelompok musik The Beatles (Can't Buy Me Love). Proses kreatif itu yang menjadikan karya-karya mereka sulit ditandingi oleh grup-grup serupa yang muncul pada kurun tahun belakangan.

Dalam penampilannya di layar kaca TVRI pada tahun 1978 itu, PSP manggung bersama Dono, Kasino, Indro (Warkop) dan Nanu. Nanu inilah yang dikenal karena lagu 'Cubit-Cubitan'-nya yang berlogat Batak, padahal Nanu berasal dari Jawa Tengah. Munculnya, grup Orkes Moral PSP ini akan sangat bagus kalau dikontekstualisasikan pada zaman ketika pergerakan mahasiswa 77/78 memperoleh momentumnya. Pada saat itu, gerakan mahasiswa sedang gencar mengkritik berbagai ketimpangan sosial. Rojali, salah-satu personil grup PSP berhasil dengan bagus memotret ketimpangan itu dalam lagu 'Duta Merlin'. Lagu yang ringan, yang menunjukkan kesenjangan sosial dan dimulainya era kapitalisasi spasio-stemporal di Jakarta pada lokasi-lokasi tertentu.

2 komentar:

Iridescent mengatakan...

nice bro...keep Bloging

Abu Ayaz mengatakan...

Misi gan, mau ikutan komen..
Kalau mau download banyolan plus lagu dari Group PSP (Pancaran Sinar Petromaks) Full Album (tahun 1979) yg isinya udah di urutin mana yg obrolan/banyolan dan mana yg lagu,

terus, urutannya juga gak dirubah (sesuai aslinya),
maka bisa download di marih (ukuran 39mb, rar file berisi mp3 file) :

http://www.4shared.com/rar/CXSweFWWce/PSP_1979_Full_Album.html

Posting Komentar